Berita heboh lagi.. kali ini datang dari Kabupaten Tulungagung, Propinsi Jawa Timur, muncul agama baru yang diduga sesat. Namanya agama Baha’i. Kitab sucinya Akhdas. Kiblatnya: Gunung Caramel di Israel.
Kepolisian Resort Tulungagung, Jawa Timur, saat ini tengah melakukan penyelidikan terhadap ajaran ini. Sebab, ajaran ini dinilai sudah meresahkan masyarakat.
Kapolres Tulungagung, AKBP Rudi Kristianto mengatakan, pihaknya sudah menurunkan tim untuk melakukan penyelidikan.
Informasi yang dihimpun, sampai saat ini diperkirakan jumlah pengikut ajaran ini sudah mencapai 157 orang.
Awalnya, agama baru ini disebarkan oleh dua orang bernama Slamet Riyadi dan Sulur. Mereka mulai menyebarkan agama itu sejak tiga belas tahun lalu.
Sekarang, jumlah tokoh agama baru itu mencapai 13 orang, yang secara terus-menerus melakukan penyebaran ajaran Baha’i.
“Kami berharap agar Depag, MUI dan pemerintah daerah ikut turun langsung untuk mengawasi keberadaan ajaran baru ini.
Sebab, keberadaan mereka sudah meresahkan masyarakat,” kata AKBP Rudi Kristianto, Minggu (25/10).
Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Tulungagung, Abu Sofyan Firojuddin mengatakan bahwa ajaran ini masuk pertama kali di Desa Ringinpitu, Kecamatan Kedungwaru, Tulungagung.
Sekelompok orang menyebut dirinya sebagai pembawa ajaran Baha’i dengan Kitab Suci Akhdas. Nabi mereka adalah Muhammad Husain Ali.
Pihak MUI Kabupaten Tulungagung sendiri akan mengkaji lebih dalam lagi sudah mempelajari ajaran yang meresahkan itu.
Terutama, tentang sejumlah syariat yang dijalankan ajaran Baha’i, yang dinilai sudah melenceng dari ajaran Islam.
Di antaranya, mereka melakukan ibadah shalat hanya cukup satu kali dalam sehari. Mereka juga menjalankan puasa Ramadhan hanya 17 hari.
Selain itu, kiblat mereka bukan ka’bah, melainkan Gunung Caramel di Israel.
“Ajaran agama dikatakan sesat jika menistakan agama resmi yang telah diakui pemerintah,” ungkap Abu Sofyan, Minggu (25/10).
Abu Sofyan menambahkan, berdasarkan masukan yang diterimanya, ajaran Baha’i juga menerbitkan surat nikah sendiri.
Selain itu, para pengikutnya juga diminta agar di dalam KTP mereka dituliskan bahwa agama mereka adalah agama Baha’i. [inilah]
Baha’i Disebarkan Melalui Pernikahan
Pada dasarnya, kehadiran ajaran Baha’i di Desa Ringin Pitu tidak menjadi masalah. Sebab dari delapan ribu jiwa atau 2.650 kepala keluarga yang menghuni Ringin Pitu, 60 persennya memiliki keyakinan aliran kepercayaan.
Mulai Saptodarmo, Perjalanan Pangestu, hingga Roso Sejati, dapat bertumbuh kembang secara toleran dengan pemeluk agama yang diakui pemerintah. Persoalan baru muncul ketika pihak desa melakukan pendataan KTP massal.
Setiap pemeluk Baha’i selalu menolak mengisi kolom agama di dalam KTP selain Baha’i. Proses ini seringkali menimbulkan perdebatan keras dengan perangkat desa. Sebab, jika tidak diisi Baha’i, mereka lebih baik memilih mengosongkan kolom agama.
“Tentu saja kami menolak dengan suara keras. Biasanya kalau sudah begitu, mereka (Baha’i) pasrah diisi agama apapun. Dan kami biasanya mengisinya dengan agama Islam,” tutur Bakri, Kepala Desa Ringin Pitu, Rabu (28/10/2009).
Alasan pemilihan Islam, karena ajaran yang mereka miliki ada kemiripan dengan Islam, meski unsur Nasrani dan Yahudi juga ada.
Sedangkan untuk urusan pernikahan, Baha’i menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Baha’i yang didalamnya berisi sembilan orang. Sah atau tidaknya suatu perkawinan dan perceraian tergantung keputusan majelis.
Diakui Bakri, jika para pemeluk Baha’i ini sebagian besar sebagai sosok yang fanatik, militant, dan cerdas. Namun, kemilitanannya, termasuk kebiasanya menyisipkan ajaran setiap kali bergaul, membuat sebagian orang merasa kurang nyaman.
Bahkan, tak jarang warga yang sebelumnya asyik berbincang, satu per satu pergi ketika ada orang Baha’i hadir. “Enaknya debat dengan orang Baha’i itu tidak bisa berhenti sebelum dipukul kursi,” terang Bakri.
Sekretaris Desa Ringin Pitu, Tarnu menambahkan, meski sebagian besar umatnya bermata pencaharian sebagai petani, kaum yang di Desa Ringin Pitu diperkirakan berjumlah sekira 40 orang itu diduga memiliki sistem keuangan yang terorganisir rapi.
Mengenai model penyebaranya, para pengikut Baha’i memilih menggunakan jalur kekerabatan, dengan cara pernikahan, selain mendekati orang-orang yang minim pengetahuan agama. “Kalau orang yang pengetahuanya dangkal, akan mudah dirayu untuk masuk ke dalamnya,” terangnya.
Ritual Pengikut Baha’i, Antara Salat dan Kebaktian
Selain berdiri dengan menyedekapkan kedua tangan, bibir Suwarno (45) terlihat kamit-kamit.
Dari sela-sela dinding rumahnya, suaranya terdengar lirih menggumamkan doa berbahasa Indonesia. Kedua mata Suwarno terpejam rapat-rapat. Sebagai salah satu penganut ajaran Baha’i, Suwarno tengah menghadap kiblat yang katanya, berada di Gunung Carmel Negara Israel.
Warga Dusun Ringin Putih, Desa Ringin Pitu, Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung, itu hanya diam. Tidak ada gerakan tangan atau tubuh lazimnya umat Islam bertakbir atau bertumakninah dalam salatnya.
Pemandangan yang tak lazim itu sengaja “dicuri” Bakri (51), Kepala Dusun Ringin Putih, yang mengintip dari sela-sela dinding rumah Suwarno. Selain sebagai tetangga, Suwarno juga masih kerabatnya.
Bakri sudah lama memendam rasa penasaran. Seperti halnya sebagian warga Desa Ringin Pitu yang beragama Islam, dirinya ingin mengetahui secara pasti bagaimana tata cara (ritual) ibadah Baha’i yang disebut para pengikutnya sebagai agama yang setara dengan enam agama yang diakui di Indonesia.
“Salat yang mereka lakukan, ada jangka pendek, menengah dan panjang. Saat itu, kegiatan ibadah itu tidak berlangsung lama,” tutur Bakri, Rabu (28/10/2009).
Secara umum, selain salat sekali sehari, ibadah pemeluk Baha’i masih tergolong misterius. Yang terlihat, mereka kerap melakukan pertemuan rutin sesama pemeluk di rumah Slamet Riyadi (55), pembawa ajaran Baha’i di Desa Ringin Pitu. Di dalam rumah, sekira 50 orang itu memanjatkan doa yang dilantunkan seperti nyanyian.
“Mirip kebaktian di gereja. Pakaian yang dikenakan mereka rapi bersih. Untuk yang perempuan berpakaian biasa. Mereka memang tidak mau berbagi soal ibadah kepada bukan kaumnya,” papar Bakri.
Kaum Baha’i juga melakukan puasa selama 19 hari sebelum merayakan Hari Raya Naurus yang jatuh setiap 21 Maret. Baha’i juga tidak mempercayai datangnya hari kiamat, termasuk penghisaban amal perbuatan manusia di hari kebangkitan.
Mereka juga tidak menerima syariat zakat, yang menurut penilaian mereka sebagai perbuatan boros. Karenanya, dalam setiap acara kegiatan sosial, kendurian misalnya, mereka memilih mengundang sedikit orang, dengan alasan tidak melakukan pemborosan. “Itu semua disampaikan setiap kali syiar kepada orang lain,” terang Bakri. (okezone)
Naskah diambil dari blog SOLO CYBER CITY DOT WORDPRESS DOT COM
Berita tahun 2009 -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar