Di negeri atas angin para Raja sedang bertemu dan membicarakan masa depan rakyatnya. Mereka terdiri dari Raja Dada, Raja Dudu, Raja Ulim, Raja Wawe dan Raja Itin. Mereka adalah Raja-raja yang sangat mencintai dan dicintai Rakyatnya yang ada di bumi.
Topik pembicaraan raja saat itu adalah hak rakyat mereka untuk memasuki Istananya dan masing-masing Raja mengeluarkan pendapatnya.
Raja Dada & Dudu: “Rakyatku harus mematuhi aturan yang ada lolos tidaknya ditunjukkan melalui proses “Tumimbal lahir” untuk bisa mencapai Istanaku”
Raja Ulim: “Rakyatku harus mematuhi aturan yang ada tapi aku juga mempertimbangkan apakah dalam hidupnya mereka juga berguna bagi keluarga atau masyarakat lainnya. Untuk bisa mencapai istanku”
Raja Wawe: “Rakyatku harus mematuhi hukum dan aturan yang ada itu baku dan mereka baru bisa menginjak Istanaku”
Raja Itin: “Karena cinta dan kasihku kepada rakyatku, semua rakyatku aku jamin bisa masuk Istana-ku”
Tiba-tiba raja Wawe menyela: “Mana bisa begitu Son, kamu masih anakku, otoritas masuk tidaknya ke istana masih ada padaku. Rakyatku saja tidak semua bisa masuk Istana mana bisa semua rakyatmu masuk Istanaku”
Raja Ulim, Raja Dada dan Raja Dudu saling berpandangan kemudian meninggalkan ruangan meraka bertiga sungkan mencampuri urusan Bapak dan anak.
Sementara itu di pintu gerbang Istana rakyat sudah berduyun-duyun menuju gerbang Istananya masing-masing. Disana terlihat ada Rabiye Ulim dan Lin-sar Dudu berjalan di jalurnya masing-masing.
Berbeda dengan jalan menuju Istana Wawe, Ulim, Dudu dan Istana Dada yang lancar dan tidak terlalu banyak antrian, jalan menuju kerajaan Itin penuh sesak oleh rakyatnya.
Rabiye Ulim dan Lin-sar Dudu sangat terpesona: “Betapa hebatnya raja Itin, rakyatnya yang menuju Istana begitu banyak melebihi rakyat raja-raja lainnya, semakin mendekati gerbang rakyat semakin padat”
Satu kilo menjelang gerbang mereka bedua melihat Wilhelmus Itin sedang berdesak-desakan menuju gerbang lalu sapa Rabiye dan Lingsar: “Wilh kenapa masih disitu, belum dapat tiket”
Wilh: “Sudah, tapi gerbang belum juga dibuka”
Rabiye : “Lho kok bisa, emangnya kenapa”
Wilh : “Katanya sih masih ada perbedaan pendapat antara Raja gue dengan papinya yaitu raja Wawe”
Lin-sar :”Lho ajie mana, bukannya berangkatnya bareng ama elu”
Wilh : “Dah masuk duluan, dia dapat dispensasi masuk melalui gerbang raja Wawe”
Rabiye dan lin-sar prihatin memperhatikan Wilh yang keringatnya tidak hanya segede jagung tapi sudah segede jengkol. “Ya udah gue masuk duluan ya, yang sabar aja Wilh” kata mereka berdua memberi dukukang moril.
Wilh: Ok thx memang seharusnya gue paham susahnya masuk Istana sebagaimana pesan Raja Itin
He he he berhubung hanya anekdot, mohon koment-nya sante aja sambil minum teh tubruk
diCOPY PASTE dari Yahoo Answer Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar